Makalah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
A. USAHA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
INDONESIA (PASCA TAHUN 1945)
Sebelum memperoleh kemedekaan,
bangsa Indonesia terlebih dahulu memproklamasikan kemerdekaannya yang dikenal
dengan “Proklamasi Kemerdekaan”. Proses ini berawal dari terdengarnya berita
kekalahan Jepang dari pihak sekutu, seketika juga kelompok pemuda mendesak
Sukarno-Hata untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Akan
tetapi dengan alasan menunggu janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan
Indonesia, Sukarno-Hata tidak dengan segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Hal inilah yang mendorong para pemuda melakukan aksi penculikan
terhadap Sukarno-Hata ke Rengasdengklok yang akhirnya dikenal dengan “Peristiwa Rengasdengklok”. Proses
perumusan teks prokalamasi kemerdekaan bertempat di rumah Laksamana Muda
Tadashi Maeda dengan tujuan keamanan dan tidak terganggu oleh pihak Jepang.
Upaya mempertahankan kemerdekaan
Indonesia melalui berbagai upaya, yaitu perlucutan senjata Jepang, menghadapi
tentara sekutu dan NICA, serta perjuangan politik untuk mendapatkan pengakuan
internasional. Kedatangan pihak sekutu ke Indonesia dengan tujuan melepaskan
tawanan perang tentara sekutu dari Jepang dan melucuti tentara Jepang pada
awalnya diterima dengan baik oleh rakyat Indonesia. Namun setelah tahu
kedatangan sekutu diboncengi oleh NICA (Netherlands
Indies Civil Administration) dengan tujuan Belanda ingin menguasai kembali
wilayah Indonesia, akhirnya terjadilah konflik di berbagai daerah di Indonesia.
Pada masa itu Belanda melalui pemimpin Van Mook membentuk Negara-negara bagian,
yaitu NIT (Negara Indonesia Timur), Negara Pasundan, Daerah Istimewa Borneo
Barat, Negara Madura, Negara Sumatra Timur, Negara Jawa Timur.
1. Latar Belakang Konflik
Indonesia - Belanda
Sebagaimana
kita ketahui kemerdekaan bangsa Indonesia di kumandangkan pada tanggal 17
Agustus 1845, sehari kemudian setelah itu tepatnya tanggal 18 agustus 1945 di
tetapkan UUD ( UUD 1945 ) sebagai konstitusi negara RI dan di pilihnya Soekarno
sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden.Perjuangan
bangsa indonesia selanjutnya semakin berat karena harus mempertahankan
kemerdekaannya.
Adapun
faktor penyebab konflik Indonesia
dan Belanda antara lain :
1.
Kedatangan Tentara Sekutu Yang Di
Boncengi Oleh NICA.
Semenjak
Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 maka
secara hukum jepang tidak lagi berkuasa di Indonesia. Hal ini mengakibatkan Indonesia
berada dalam keadaan Vacum Of Power (tidak ada seorang pemerintah yang
berkuasa) maka pada waktu itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh bangsa Indonesia
untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tanggal 10 September 1945 Panglima
Bala Tentara Kerajaan Jepang di Jawa mengumumkan bahwa pemerintahan akan
diserahkan pada Sekutu bukan pada pihak Indonesia. Dan pada tanggal 14
September perwirwa Sekutu datang ke Jakarta untuk mempelajari dan melaporkan
keadaan di Indonesia menjelang pendaratan rombongan Sekutu.
Pada
tanggal 29 September 1945 akhirnya Sekutu mendarat di Indonesia yang bertugas
melucuti tentara Jepang. Semula rakyat Indonesia menyambut dengan senang hati
kedatangan Sekutu, karena mereka mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi,
setelah diketahui bahwa Netherlands Indies Civil Administration (NICA) di bawah
pimpinan Van der Plass dan Van Mook ikut di dalamnya, sikap rakyat Indonesia
menjadi curiga dan bermusuhan. NICA adalah organisasi yang didirkan orang-orang
Belanda yang melarikan diri ke Australia setelah Belanda menyerah pada Jepang.
Organisasi ini semula didirikan dan berpusat di Australia. Keadaan bertambah
buruk karena NICA mempersenjatai kembali KNIL setelah dilepas oleh Sekutu dari
tawanan Jepang. Adanya keinginan Belanda berkuasa di Indonesia menimbulkan
pertentangan, bahkan diman-mana terjadi pertempuran melawan NICA dan Sekutu.
Tugas
yang diemban oleh Sekutu yang dalam hal ini dilakukan oleh Allied Forces
Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah Letnan Sir Philip Christinson. Mereka
memiliki keinginan untuk menghidupkan kembali Hindia Belanda. Adapun tugas
AFNEI di Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Menerima
penyerahan dari tangan Jepang.
2. Membebaskan
para tawanan perang dan interniran Sekutu.
3. Melucuti
dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan.
4. Menegakkan
dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintahan
sipil.
5. Menghimpun
keterangan tentang penjahat perang dan menuntut mereka di depan pengadilan.
Kedatangan
pasukan Sekutu pada mulanya disambut dengan sikap netral oleh pihak Indonesia.
Namun, setelah diketahui bahwa Sekutu membawa NICA(Netherland Indies Civil
Administration) sikap masyarakat berubah menjadi curiga karena NICA adalah
pegawai sipil pemerintah Hindia Belanda yang dipersiapkan untuk mengambil alih
pemerintahan sipil di Indonesia. Para pemuda memberikan sambutan tembakan
selamat datang. Situasi keamanan menjadi semakin buruk sejak NICA
mempersenjatai kembali tentara KNIL yang baru dilepaskan dari tawanan Jepang.
Melihat
kondisi yang kurang menguntungkan, Panglima AFNEI menyatakan pengakuan sedara
de facto atas Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945. Sejak saat itu,
pasukan AFNEI diterima dengan tangan terbuka oleh pejabat-pejabat RI di daerah-daerah
untuk membantu memperlancar tugas-tugas AFNEI.
Namun
dalam kenyataannya di daerah-daerah yang didatangi Sekutu selalu terjadi
insiden dan pertempuran dengan pihak RI. Hal itu disebabkan pasukan Sekutu
tidak bersungguh-sungguh menghormati kedaulatan RI. Sebaliknya pihak Sekutu
yang merasa kewalahan, menuduh pemerintah RI tidak mampu menegakkan keamanan
dan ketertiban sehingga terorisme merajalela. Pihak Belanda yang bertujuan
menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia berupaya memanfaatkan situasi ini
dengan memberi dukungan kepada pihak Sekutu. Panglima Angkatan Perang Belanda,
Laksamana Helfrich, memerintahkan pasukannya untuk membantu pasukan Sekutu.
Kedatangan
tentara Sekutu yang diboncengi NICA menyebabkan terjadinya konflik dan
pertempuran di berbagai daerah. Keinginan Belanda untuk kembali menjajah
Indonesia berhadapan dengan rakyat Indonesia yang mempertahankan
kemerdekaannya. Oleh karena itu, terjadi pertempuran di berbagai daerah di
Indonesia. Konflik antara Indonesia-Belanda ini akhirnya melibatkan peran dunia
internasional untuk menyelesaikannya.
2.
Kedatangan NICA ( Belanda ) Berupaya
Untuk Menegakkan Kembali Kekuasaannya Di Indonesia .
NICA berusaha mempersenjatai kembali KNIL (Koninklijk
Nerderlands Indisch Leger, yaitu Tentara Kerajaan Belanda yang ditempatkan di
Indonesia). Orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya dan Bandung
mengadakan provokasi sehingga memancing kerusuhan. Sebagai pimpinan AFNEI,
Christison menyadari bahwa untuk kelancaran tugasnya diperlukan bantuan dari
Pemerintah Republik Indonesia. Oleh karena itu diadakanlah perundingan dengan
pemerintah RI. Christison mengakui pemerintahan de facto Republik Indonesia
pada tanggal 1 Oktober 1945. la tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut
status kenegaraaan Indonesia. Dalam kenyataannya pasukan Sekutu sering membuat
hura-hara dan tidak menghormati kedaulatan bangsa Indonesia. Gerombolan NICA
sering melakukan teror terhadap pemimpin-pemimpin kita. Dengan demikian bangsa
Indonesia mengetahui bahwa kedatangan Belanda yang membonceng AFNEI adalah
untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Indonesia. Oleh karena itu bangsa kita
berjuang dengan cara-cara diplomasi maupun kekuatan senjata untuk melawan
Belanda yang akan menjajah kembali. Konflik antara Indonesia dengan Belanda ini
akhirnya melibatkan peran dunia intemasional untuk menyelesaikannya.
Usaha
Perjuangan dalam Mempertahankan Kemerdekaaan Kemerdekaan Indonesia
Kehadiran pasukan Sekutu yang membawa orang-orang NICA
pada tanggal 29 September 1945 sangat mencemaskan rakyat dan pemerintah RI.
Keadaan ini semakin memanas ketika NICA mempersenjatai kembali bekas KNIL yang
baru dilepaskan dari tahanan Jepang. Para pejabat Republik Indonesia yang
menerima kedatangan pasukan ini karena menghormati tugas. Mereka menjadi
sasaran teror dan percobaan pembunuhan. Oleh karena itu sikap pasukan Sekutu
yang tidak menghormati kedaulatan negara dan bangsa Indonesia ini dihadapi
dengan kekuatan senjata, oleh rakyat dan pemerintah. Di beberapa daerah muncul
perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan sebagai berikut.
2.Usaha
Perjuangan mempertahankan kemerdekaaan Indonesia
a. Pertempuran 10 November di Surabaya
Pertempuran di Surabaya diawali
dengan pendaratan pasukan Sekutu dibawah pimpinan Brigjen
A.W.S. Mallaby pada tanggal 25 Oktober 1945. Pada tanggal 27 Oktober, mereka
menyerbu penjara dan membebaskan perwira-perwira Sekutu yang sebelumnya ditawan
oleh pejuang-pejuang republik. Pembebasan tanpa izin pemerintah RI telah
menimbulkan kemarahan rakyat setempat, sehingga mereka secara serentak
mengadakan serangan terhadap Sekutu.
Pertempuran Surabaya atau lebih dikenal dengan pertempuran 10 November 1945
dilatarbelakangi dengan adanya perbedaan persepsi tentang kepemilikan senjata.
Tentara Keamanan Rakyat dan rakyat Indonesia yang baru saja mendapatkan senjata
rampasan dari tentara Jepang yang menyerah diperintahkan oleh Inggris (yang
waktu itu dalam misi untuk melucuti tentara Jepang yang kalah perang dan
mengatur pemulangan tentara Jepang ke Jepang) untuk menyerahkan senjata.
Perintah itu dipandang oleh Tentara Keamanan Rakyat dan rakyat Indonesia
sebagai intervensi terhadap kedaulatan kemerdekaan karena berarti Indonesia tidak
diperkenankan untuk melindungi diri sendiri. Apalagi ada gelagat Belanda ingin
menggunakan perintah penyerahan senjata itu sebagai cara melemahkan pertahanan
Indonesia demi keinginannya untuk kembali menjajah Indonesia (waktu itu Belanda
membonceng Inggris untuk masuk kembali ke Indonesia dalam misi bernama NICA =
Netherlands Indies Civil Administration)
Sejak perintah penyerahan senjata itu muncul kondisi di Surabaya sudah
mulai kurang kondusif. Tentara Keamanan Rakyat dan rakyat yang semula mendukung
dan membantu tentara Inggris dalam melucuti tentara Jepang, mulai mengambil
jarak dan mulai melakukan perlawanan terhadap Inggris demi mempertahankan
senjata dan kedaulatan nya untuk mempertahankan diri. Serangan terhadap tentara
Inggris dan Belanda mulai terjadi sampai saat itu Bung Karno dan Bung Hatta
terpaksa diterbangkan ke Surabaya oleh Inggris demi menenangkan keadaan.
Gencata senjata sementara sempat terjadi, sampai suatu peristiwa memicu
pertempuran besar terjadi, yaitu meninggalnya Jenderal Mallaby ditangan para
pejuang Indonesia.
Namun peristiwa meninggalnya Jenderal Mallaby itu sungguh membuat tentara
Inggris murka dan mengultimatum Tentara Keamanan Rakyat serta rakyat khusus nya
di Surabaya, untuk menyerahkan senjata nya paling lambat 10 November 1945 atau
akan diserbu oleh tentara Inggris.
Mendengar ultimatum tersebut Tentara Keamanan Rakyat dan rakyat Surabaya
bukannya takut, melainkan menjadi lebih gigih dan berkobar semangatnya.
Terlebih lagi saat itu beberapa organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama
(NU) dan Masyumi sempat juga mengeluarkan pernyataan bahwa perang
mempertahankan kedaulatan adalah bentuk jihad. Ditambah sosok Bung Tomo yang
dengan pidato-pidatonya terus memompa semangat perjuangan.
Sejarah mencatat bahwa ultimatum penyerahan senjata itu tidak ditanggapi
oleh Tentara Keamanan Rakyat dan rakyat di Surabaya, sehingga 10 November 1945
terjadilah pertempuran besar di Surabaya. Dalam waktu 3 hari, tentara Inggris
memang berhasil menguasai kota Surabaya, tetapi serangan-serangan dari Tentara
Keamanan Rakyat dan rakyat di Surabaya berlangsung selama sekitar 3 minggu.
Tentara Inggris sangat kewalahan menghadapi pertempuran itu sampai harus
mendatangkan bala bantuan dan memborbardir kota Surabaya dengan pesawat terbang
dan kapal perangnya.
Walaupun akhirnya tentara Inggris berhasil menguasai kota Surabaya, namun
pertempuran itu menjadi sebuah bukti bahwa Indonesia sudah menjadi suatu negara
yang berdaulat dan rakyat Indonesia sepenuhnya mendukung kemerdekaan itu sampai
rela berjuang mati-matian demi mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan itu.
Pertempuran itu juga menjadi semacam pembangkit semangat seluruh rakyat
Indonesia untuk tetap mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan 17 Agustus
1945.
Pemerintah Indonesia akhirnya menetapkan tanggal 10 November 1945 sebagai
Hari Pahlawan demi menghormati semangat juang arek-arek Suroboyo (sebutan untuk
rakyat di Surabaya) yang berjuang mempertahankan kedaulatan sampai gugur
dimedan perang.
Dalam suatu pertempuran,
Mallaby terbunuh. Hal ini menimbulkan kemarahan Sekutu, sehingga komandan
pasukan Sekutu di Jawa Timur, Mayjend R. Mansergh mengeluarkan ultimatum.
Ultimatum tersebut berisi :
a. semua pemimpin
Indonesia termasuk pemimpin pergerakan, pemuda, polisi, dan petugas radio harus
melapor kepada Inggris dalam batas waktu sampai pukul 18.00 pada tanggal 9
November 1945;
b. mereka harus berbaris
satu-persatu dengan membawa senjata yang dimilikinya;
c. setelah
meletakkan senjata, mereka harus berjalan dengan tangan di atas kepala menuju
pos yang telah ditentukan;
d. jika ultimatum ini
tidak ditaati, Inggris akan menghancurkan seluruh kota Surabaya.
Ultimatum tersebut tidak
digubris oleh rakyat Surabaya yang didukung juga oleh gubernurnya R. Soerjo.
Semangat untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan telah mendorong rakyat
rela berkorban. Bung Tomo salah seorang pimpinan para pejuang selalu membangkitkan
semangat perjuangan melalui radio agar rakyat Surabaya tidak menghiraukan
ultimatum Inggris. Akhirnya, pasukan Inggris dan Belanda menggempur Surabaya
dari segala jurusan dengan persenjatan berat dan lengkap pada tanggal 10
November 1945. Penduduk Surabaya bertempur mati-matian sehingga banyak korban
yang tewas. Pertempuran di Surabaya bagi pasukan Inggris sendiri merupakan
perang terbesar yang dialaminya setelah Perang Dunia II, sehingga mereka
menyebutnya “neraka”. Peristiwa tanggal 10 November tersebut kemudian
diperingati sebagai Hari Pahlawan.
|
Setelah terbunuhnya Brigadir
Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan
ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan
dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah
jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap
sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak
badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak
Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan
Tentara Keamanan Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain
itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat,
termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya
kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di
Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara
Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan
pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian
mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal
perang.
Inggris kemudian membombardir kota
Surabaya dengan meriam
dari laut
dan darat.
Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota,
dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran
ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan
tersebut, baik meninggal maupun terluka.
Bung Tomo
di Surabaya,
salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal
ini bagi banyak orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa
perjuangan revolusi utama Indonesia saat itu.[5]
Di luar dugaan pihak Inggris yang
menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari,
para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo
yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan
pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan
skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari
kalangan ulama
serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim
Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren
lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi
perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan
tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak
Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu
lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai
waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di
tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang
dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. [2].
Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara. [3]
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah
menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan
mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang
menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan
oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
b. Pertempuran
Medan Area (10 Desember 1945)
Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27 Agustus
1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara
Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan yang diangkat menjadi
Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oleh pemerintah untuk menegakkan kedaulatan
Republik Indonesia di Sumatera dengan membentuk Komite Nasional Indonesia di
wilayah itu. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di Sumatera
Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly. Serdadu Belanda dan
NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih pemerintahan.
Pasukan Sekutu membebaskan para tawanan atas persetujuan Gubernur Teuku M.
Hassan. Para bekas tawanan ini bersikap congkak sehingga menyebabkan terjadinya
insiden di beberapa tempat. Achmad Tahir,
seorang bekas perwira tentara Sukarela memelopori terbentuknya TKR Sumatra
Tirnur. Pada tanggal l0 Oktober 1945. Di samping TKR, di Sumatera Timur
terbentuk Badan-badan perjuangan dan laskar-laskar partai. Pada tanggal 18
Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly memberikan ultimatum kepada pemuda
Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu
dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu memasang papan-papan yang
bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan.
Bagaimana sikap para pemuda kita? Mereka dengan gigih membalas setiap aksi yang
dilakukan pihak Inggris dan NICA. Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu
melancarkan serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat
tempur. Pada bulan April 1946 pasukan Inggris berhasil mendesak pemerintah RI
ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang
Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat Medan terus
berjuang dengan membentuk Laskar Rakyat Medan Area.
Selain di daerah
Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga terjadi perlawanan rakyat terhadap
Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan Bukittinggi pertempuran berlangsung
sejak bulan November 1945. Sementara itu dalam waktu yang sama di Aceh terjadi
pertempuran melawan Sekutu. Dalam pertempuran ini Sekutu memanfaatkan
pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi perlawanan rakyat sehingga pecah
pertempuran yang dikenal dengan peristiwa Krueng Panjol Bireuen. Pertempuran di
sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin sengit ketika pihak rakyat dipimpin
langsung oleh Residen Teuku Nyak Arif. Dalam pertempuran ini pejuang kita
berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian di seluruh Sumatera rakyat bersama
pemerintah membela dan mempertahankan kemerdekaan.
c. Peristiwa Palagan Ambarawa (21
November – 15 Desember 1945)
Pertempuran di Ambarawa terjadi
pada tanggal 21 November 1945 dan berakhir tanggal 15 Desember 1945, antara
pasukan TKR dan laskar pemuda melawan pasukan Inggris. Peristiwa tersebut
dilatar-belakangi sebuah insiden di Magelang sesudah mendaratnya Brigade
Artileri dari Divisi India ke-23 di Semarang. Pihak RI memperkenankan mereka
untuk mengurus tawanan perang yang berada di penjara Ambarawa dan Magelang.
Tetapi kedatangan pasukan Inggris ternyata diikuti oleh pasukan NICA yang
kemudian mempersenjati para bekas tawanan perang Jepang tersebut. Maka
pecahlah pertempuran di Ambarawa-Magelang
|
Pada waktu itu, TKR dibawah
pimpinan Panglima Divisi V Banyumas, Kolonel Soedirman dan berhasil memukul
mundur Sekutu sampai ke Semarang pada tanggal 15 Desember 1945. Kemenangan di
Ambarawa itu mempunyai arti yang sangat penting karena letaknya yang strategis.
Apabila musuh menguasai Ambarawa, mereka bisa mengancam tiga kota utama di Jawa
Tengah, yaitu Surakarta (Solo), Magelang, dan terutama Yogyakarta yang
merupakan tempat kedudukan markas tertinggi TKR. Pertempuran di Ambarawa tersebut
terkenal dengan sebutan “Palagan Ambarawa”, dan sampai sekarang selalu
diperingati sebagai “Hari Infanteri” oleh TNI-AD.
Pertempuran
Ambarawa berlangsung empat hari, dari 13-15 Desember 1945. Semangat juang
pasukan TKR menjadi penentu kemenangan dalam melawan musuh.
Awal Pertempuran
Perjuangan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin Jenderal Soedirman pada
pertengahan Desember 1945, membuat tentara sekutu terjepit dan akhirnya mundur
dari Ambarawa menuju Semarang. Walaupun dihadang dengan seluruh kekuatan
persenjataan modern serta kemampuan taktik dan strategi sekutu, para pejuang RI
tak pernah gentar sedikitpun. Mereka melancarkan serangan dengan gigih seraya
melakukan pengepungan ketat di semua penjuru kota Ambarawa. Dengan gerakan
pengepungan rangkap ini sekutu benar-benar terkurung dan kewalahan. Jenderal Soedirman sebagai pemimpin pasukan menegaskan
perlunya mengusir tentara sekutu dan Ambarawa secepat mungkin. Sebab sekutu
akan menjadikan Ambarawa sebagai basis kekuatan untuk merebut Jawa Tengah.
Dengan semboyan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung, patah tumbuh hilang
berganti”, pasukan TKR memiliki tekad bulat membebaskan Ambarawa atau dengan
pilihan lain gugur di pangkuan ibu pertiwi.
Peristiwa
Pertempuran Ambarawa Serangan pembebasan Ambarawa yang berlangsung selama empat
hari empat malam dilancarkan dengan penuh semangat pantang mundur. Dari tanggal
12 hingga 15 Desember 1945, para pejuang tidak menghiraukan desingan-desingan
peluru maut dan lawan. Letusan tembakan sebagai isyarat dimulainya serangan
umum pembebasan Ambarawa, terdengar tepat pukul 04.30 WIB pada 12 Desember
1945. Pejuang yang telah bersiap-siap di seluruh penjuru Ambarawa mulai merayap
mendekati sasaran yang telah ditentukan, dengan siasat penyerangan mendadak
secara serentak di segala sektor. Seketika, dan segala penjuru Ambarawa penuh
suara riuh desingan peluru, dentuman meriam, dan ledakan granat. Serangan
dadakan tersebut diikuti serangan balasan musuh yang kalang kabut.
Akhir
pertempuran Sekitar pukul 16.00 WIB, TKR berhasil menguasai Jalan Raya Ambarawa
Semarang, dan pengepungan musuh dalam kota Ambarawa berjalan dengan sempurna.
Terjadilah pertempuran jarak dekat. Musuh mulai mundur pada 14 Desember 1945.
Persediaan logistik maupun amunisi musuh sudah jauh berkurang.
Akhirnya, pasukan sekutu mundur dan Ambarawa sambil melancarkan aksi bumi hangus pada 15 Desember 1945, pukul 17.30 WIB. Pertempuran berakhir dengan kemenangan gemilang pada pihak TKR. Pasukan TKR berhasil merebut benteng pertahanan sekutu yang tangguh. Kemenangan pertempuran Ambarawa pada 15 Desember 1945. Keberhasilan Panglima Besar Jenderal Soedirman ini kemudian diabadikan dalam bentuk monumen Palagan Ambarawa. TNI AD memperingati tanggal tersebut setiap tahun sebagai Hari Infanteri.
Akhirnya, pasukan sekutu mundur dan Ambarawa sambil melancarkan aksi bumi hangus pada 15 Desember 1945, pukul 17.30 WIB. Pertempuran berakhir dengan kemenangan gemilang pada pihak TKR. Pasukan TKR berhasil merebut benteng pertahanan sekutu yang tangguh. Kemenangan pertempuran Ambarawa pada 15 Desember 1945. Keberhasilan Panglima Besar Jenderal Soedirman ini kemudian diabadikan dalam bentuk monumen Palagan Ambarawa. TNI AD memperingati tanggal tersebut setiap tahun sebagai Hari Infanteri.
Bandung Lautan Api (23 Maret
1946)
Pada bulan Oktober 1945,
Tentara Republik Indonesia (TRI) dan pemuda serta rakyat sedang berjuang
melawan tentara Jepang untuk merebut senjata dari tangan Jepang. Pada saat
itu, pasukan AFNEI sudah memasuki kota Bandung. Pasukan AFNEI menuntut
pasukan Indonesia untuk menyerahkan senjata. Disamping itu, TRI harus
mengosongkan kotra Bandung bagian utara paling lambat tanggal 29 Oktober
1945.
Tuntutan dari AFNEI tersebut
tidak diindahkan oleh TRI maupun rakyat Bandung. Dipimpin oleh Arudji
Kartawinata, TRI dan pemuda Bandung melakukan serangan terhadap kedudukan
AFNEI. Pertempuran itu berlanjut hingga memasuki tahun 1946. Pada tanggal 23
maret 1946, AFNEI kembali mengeluarkan ultimatum supaya TRI meninggalkan kota
Bandung. Ultimatum itu diperkuat dengan adanya perintah dari pemerintah pusat
Jakarta supaya TRI meninggalkan Bandung.
Pemerintah dari pusat tersebut
memang bertentangan dengan instruksi dari markas TRI di Yogyakarta. Sebelum
meninggalkan Bandung, TRI mengadakan perlawanan dengan cara membumihanguskan
kota Bandung bagian selatan. Tindakan itu membawa akibat fatal bagi pasukan
AFNEI, karena mengalami kesulitan akomodasi dan logistik di kota Bandung.
Tindakan membumihanguskan kota dikenal dengan Bandung Lautan Api.
|
e. Peristiwa Merah Putih di
Manado (14 Februari 1946)
Peristiwa Merah Putih di Manado terjadi tanggal 14 Pebruari 1946. Para
pemuda tergabung dalam pasukan KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger).
Kompeni VII bersama laskar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan
kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon dan Minahasa. Sekitar 600 orang
pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan. Pada tanggal 16 Pebruari 1946
mereka mengeluarkan surat selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan di seluruh
Manado telah berada di tangan bangsa Indonesia. Untuk memperkuat kedudukan
Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan
nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Wuisan.
Bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Pebruari 1946. Dr. Sam Ratulangi diangkat sebagai Gubernur Sulawesi bertugas untuk memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi. Ia memerintahkan pembentukan Badan Perjuangan Pusat Keselamatan Rakyat. Dr. Sam Ratulangi membuat petisi yang ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia. Oleh karena petisi itu, pada tahun 1946, Dr. Sam Ratulangi ditangkap dan dibuang ke Serui (Irian Barat dan sekarang Papua)
Bendera Merah Putih dikibarkan di seluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Pebruari 1946. Dr. Sam Ratulangi diangkat sebagai Gubernur Sulawesi bertugas untuk memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi. Ia memerintahkan pembentukan Badan Perjuangan Pusat Keselamatan Rakyat. Dr. Sam Ratulangi membuat petisi yang ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia. Oleh karena petisi itu, pada tahun 1946, Dr. Sam Ratulangi ditangkap dan dibuang ke Serui (Irian Barat dan sekarang Papua)
2.3. Perjuangan Diplomasi
Indonesia
Selaian berjuang mempertahankan
Indonesia melalui perjuangan fisik, Indonesia juga berusaha tetap
mempertahankan kemerdekaanya melalui perjuangan Diplomasi. Diplomasi
artinya perundingan/perjanjian yang dibuat untuk disepakati. Para pejuang
diplomasi Indonesia berunding dengan Belanda untuk membuat perjanjian yang akan
dilaksanakan.
Berikut adalah berbagai perjuangan diplomasi kemerdekaan Indonesia:
Berikut adalah berbagai perjuangan diplomasi kemerdekaan Indonesia:
1. Perundingan Hooge
Veluwe
Sebelum Perjanjian
Linggajati didahului oleh perundingan di HogeVoluwe di Negeri Belanda yang
dilaksanakan pada tanggal 14-25 April 1946, berdasarkan suatu rancangan yang
disusun oleh Sjahrir, Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir II.
Sebelumnya tanggal 10
Februari 1946, sewaktu Sjahrir menjabat Perdana Mentri dalam Kabinet Sjahrir I,
Van Mook telah menyampaikan kepada Sjahrir rencana Belanda yang berisi
pembentukan negara persemakmuran Indonesia, yang terdiri atas kesatuan kesatuan
yang mempunyai otonomi dari berbagai tingkat negara persemakmuran menjadi
bagian dari Kerajaan Belanda. Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu
terbatas, setelah itu peserta dalam kerajaan dapat menentukan apakah
hubungannya akan dilanjutkan berdasarkan kerjasama yang bersifat sukarela.
Sementara itu
pemerintah Inggris mengangkat seseorang Diplomat tinggi Sir Archibald Clark
Kerr (yang kemudian diberi gelar Lord Inverchapel), untuk bertindak sebagai
ketua dalam perundingan Indonesia – Belanda.
Segera setelah
terbentuknya Kabinet Sjahrir II, Sjahrir membuat usulan-usulan tandingan. Yang
penting dalam usul itu ialah bahwa : (A) RI diakui sebagai negara berdaulat
yang meliputi daerah bekas Hindia Belanda, dan (B) antara negeri Belanda dan RI
dibentuk Federasi. Jelaslah behwa usul ini bertentangan dengan usul Van Mook.
Setelah diadakan perundingan antara Van Mook dan Sjahrir dicapai kesepakatan :
·
Rancangan perstujuan diberikan
bentuk sebagai Perjanjian Indonesia Internasional dengan “Preambule”.
·
Pemerintah Belanda mengakui
kekuasaan de Facto Republik atas Pulau Jawa dan Sumatra.
Pada rapat Pleno
tanggal 30 Maret 1946 Van Mook menerangkan bahwa rancangannya merupakan
usahanya pribadi tanpa diberi kekuasaan oleh pemerintahnya . Maka diputuskan
bahwa Van Mook akan pergi ke Negeri Belanda, dan cabinet mengirim satu delegasi
ke Negeri Belanda yang terdiri atas Soewandi, Soedarsono dan Pringgodigdo.
Perundingan diadakan tanggal 14-25 April 1946. Pada hari pertama perundingan sudah
mencapai Deadlock, karena bentuk perjanjian Internasional (treaty) tidak dapat
diterima oleh kabinet Belanda. Perjanjian Internasional akan berarti bahwa RI
mempunyai kedudukan yang sama dengan Belanda didunia Internasional. Padahal
Belanda tetap menganggap dirinya sebagai negara pemegang kedaulatan atas
Indonesia. Perundingan di Hoge Voluwe merupakan kegagalan, akan tetapi
pengalaman yang diperoleh dari perundingan Hoge Voluwe ternyata berguna dalam
perjanjian Linggajati.
Perundingan yang
berlangsung di Hooge Voluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak
konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta Pihak Belanda
tidak tersedia memberikan pengakuan de’facto kedaulatan RI atas Jawa dan
Sumatera tetapi hanya jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang
diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan
Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul
bagi pemerintahannya kepada pihak RI.
2. Perundingan Linggajati
Dalam rangka kelanjutan dari
perundingan-perundingan sebelumnya, pada tanggal 10 November 1946
diselenggarakan perundingan yang bertempat di Linggarjati (perbatasan
Cirebon-Kuningan). Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM Sutan Syahrir,
sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh H.J. Van Mook. Meskipun perundingan
berjalan sangat alot, pada tanggal 15 November 1946 dicapailah suatu
persetujuan yang terdiri 17 pasal, isinya antara lain :
a) Belanda mengakui secara de facto wilayah
RI yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera Belanda harus sudah meninggalkan
wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1947.
|
b) Indonesia dan Belanda akan membentuk Negara
Indonesia Serikat (RIS) yang salah satu negara bagiannya adalah Republik
Indonesia.
c) Pembentukan Uni Indonesia – Belanda (Commonwealth).
Bila dianalisa, hasil Persetujuan Linggarjati jelas sangat merugikan bagi
bangsa Indonesia, sebab : Poin pertama, jelas merupakan kemunduran bagi RI
karena kemerdekaan yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 adalah
untuk seluruh wilayah dan rakyat Indonesia, akhirnya hanya meliputi sebagian
saja (Jawa, Madura, dan Sumatera). Poin kedua : apa yang dulu diidam-idamkan
sebagai negara kesatuan, ternyata hanya merupakan negara federasi. Poin ketiga
: status Indonesia tidak merdeka penuh sebab masih terikat dari Kerajaan
Belanda.
Hasil perundingan tersebut akhirnya mempunyai dampak yang sangat kuat dengan
munculnya pro dan kontra. Meskipun pemerintah menganggap bahwa perundingan itu
merupakan alat diplomasi untuk melepaskan diri secara berangsur-angsur dari
kekuasaan Belanda. Mereka yang pro kemudian tergabung dalam golongan Sayap
Kiri, sedangkan yang kontra tergabung dalam golongan Banteng Republik. Golongan
Banteng Republik tidak percaya lagi terhadap kepemimpinan Kabinet Syahrir dan
menganggap bertanggung jawab terhadap hasil perundingan Linggarjati. Akhirnya
Kabinet Syahrir jatuh dan menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno
tanggal 27 Juni 1947. Presiden Soekarno kemudian membentuk kabinet baru yang
dipimpin oleh Amir Syarifudin pada tanggal 3 Juli 1947.
Kekacauan politik di Indonesia tersebut dimanfaatkan oleh Belanda ketika
jatuhnya Kabinet Syahrir. Belanda membentuk Negara Pasundan dengan Soerja
Kartalegawa sebagai wali negara pada tanggal 4 Mei 1947. Kemudian Negara
Kalimantan Barat dengan Kepala Negaranya Sultan Hamid II, disusul kemudian
dengan negara-negara lainnya di wilayah Indonesia. Dengan demikian, pecahlah
negara kesatuan RI.
3. Agresi Militer Belanda I,
Terbentuknya KTN, dan Perundingan Renville
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan
serangan yang besar-besaran terhadap daerah-daerah RI. Agresi Belanda
tersebut menyebebkan jatuhnya beberapa kota penting RI. Bagi Belanda, tindakan
agresinya itu dianggap sebagai aksi polisional, yang menganggap perjuangan
bangsa Indonesia menghadapi Belanda sebagai tindakan kaum ekstrimis yang
memberontak terhadap pemerintah Belanda yang sah.
Agresi Militer Belanda I, mendapat reaksi dan
kecaman yang keras dari negara-negara di kawasan Asia dan negara-negara anggota
PBB, termasuk Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat, Belanda dianggap telah
menyelewengkan dana bantuan program Marshall Plan untuk menyerang Indonesia.
Pada tanggal 1 Agustus 1947, DK-PBB menyerukan kepada Belanda dan Indonesia
agar mengadakan gencatan senjata dan segera mengadakan perundingan. Pada
tanggal 4 Agustus 1947, DK-PBB mengumumkan penghentian tembak-menembak, yang
mengakhiri Agresi Militer Belanda I.
Upaya selanjutnya dari DK-PBB
adalah membentuk Komisi Jasa Baik (Goodwill Commission)yang
dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan Australia
(diwakili Richard Kirby), Belgia (diwakili Paul van Zeeland) dan Amerika
Serikat (diwakili oleh Dr. Frank B. Graham). Setelah tiba di Jakarta,
wakil-wakil KTN mengadakan penelitian tentang keadaan di Indonesia dengan
pendekatan kepada kedua belah pihak yang bertikai. Kemudian KTN mengusulkan
agar perundingan diselenggarakan di atas kapal milik AS, yaitu kapal AL USS
Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Perundingan dilaksanakan pada
tanggal 8 Desember 1947.
|
Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM Amir
Syarifudin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdoel Kadir
Widjojoatmodjo (seorang Indonesia yang pro Belanda).
Meskipun perundingan berjalan alot, KTN berhasil
mengusulkan usul politik untuk dipilih kedua belah pihak yaitu :
a) kemerdekaan bagi
bangsa Indonesia
b) kerja sama
Indonesia-Belanda
c) dibentuknya suatu
negara federasi
d) dibentuknya suatu Uni
Indonesia-Serikat dan bagian lain
Akhirnya perundingan di kapal Renville berhasil ditandatangani oleh semua pihak
pada tanggal 17 Januari 1948. Persetujuan tersebut antara lain berisi :
a) Persetujuan gencatan senjata
b) 5 pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna
memperlancar penyelesaian politik, antara lain :
1) Belanda tetap memegang kedaulatan atas seluruh
wilayah Indonesia, sampai kedaulatan diserahkan kepada RIS yang segera akan
dibentuk.
2) Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat mengerahkan
sebagian dari kekuasaannya pada suatu pemerintahan federal sementara.
3) RIS sebagai negara merdeka dan berdaulat,
sederajat dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda. Namun Raja
Belanda bertindak sebagai Kepala Uni.
4) RI merupakan bagian dari RIS.
5) Akan diadakan plebisit di wilayah Jawa, Madura,
dan Sumatera untuk menentukan masuk RI atau RIS (di daerah-daerah RI yang
diduduki Belanda hasil Agresi I).
Hasil perundingan
Renville jelas telah merugikan Indonesia. Hal tersebut menimbulkan pro dan
kontra di kalangan politisi nasional maupun pejuang pergerakan. Dengan
ditandatanganinya perjanjian tersebut, wilayah Indonesia menjadi semakin
sempit, dan kedudukannya semakin terdesak karena RI harus mengakui daerah RI
yang yang diduduki Belanda hasil dari agresinya. Melaksanakan Perjanjian
Renville, berarti harus melaksanakan “garis demarkasi Van Mook”. Ini berarti,
daerah-daerah di Jawa
|
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur harus ada
daerah-daerah yang “dikosongkan”.Dari Jawa Barat, pasukan Divisi Siliwangi
harus hijrah ke Jawa Tengah, demikian pula tentara dari Divisi Damarwulan dari
Jawa Timur harus ditarik ke wilayah RI. Perintah ini jelas menimbulkan reaksi
yang sangat keras dari kalangan TNI dan para pejuang. Bahkan Letjen Oerip
Soemohardjo mengundurkan diri dari jabatannya karena tidak dapat menerima
keputusan pemerintah untuk meninggalkan kantong-kantong gerilya.
Akhirnya Kabinet Amir Syarifudin jatuh karena
tidak mendapat dukungan dari rakyat, apalagi setelah keluarnya Masyumi dan PNI
dari kabinet. Pada tanggal 29 Januari 1948, Presiden Soekarno membentuk kabinet
baru dengan perdana menterinya, Drs. Moh. Hatta. Kondisi politik di Indonesia
semakin rumit. Pemerintah harus menghadapi berbagai tantangan yang berat. Di
satu pihak harus menghadapi kelicikan Belanda, di pihak lain harus menghadapi
perpecahan di kalangan politisi dan pejuang sendiri. Dan pada waktu bersamaan
harus menghadapi pemberontakan yang dilakukan PKI di Madiun.
4. Agresi Militer Belanda II
Agresi militer II Belanda terjadi pada 19
Desember 1948. Agresi militer itu diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta,
ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta,
Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara itu juga menyebabkan
dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera, yang dipimpin
oleh Sjafruddin Prawiranega.Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara
Maguwo Yogyakarta hari itu, Belanda menyatakan tidak lagi terikat dengan
Perjanjian Renville.
Penyerangan terhadap Yogyakarta diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo. Pada pukul 05.45 pagi itu, lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan, dengan persenjataan sangat minim. Akibatnya, dalam waktu singkat bandara Maguwo jatuh ke tangan pasukan Belanda. Sebanyak 128 tentara Indonesia tewas, sedangkan di pihak Belanda tidak ada satu pun korban.
Beriringan dengan agresi ke Yogyakarta, pasukan Belanda juga menyerang daerah-daerah lain di Jawa. Segera setelah mendengar berita agresi militer yang dilakukan Belanda tersebut, Panglima Besar Soedirman pun mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00, dan perang gerilya melawan Belanda pun dimulai.
Akibat agresi militer Belanda tersebut, pihak internasional melakukan tekanan terhadap Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda. Akhirnya, dengan terpaksa, Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem-Royen
Penyerangan terhadap Yogyakarta diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo. Pada pukul 05.45 pagi itu, lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan, dengan persenjataan sangat minim. Akibatnya, dalam waktu singkat bandara Maguwo jatuh ke tangan pasukan Belanda. Sebanyak 128 tentara Indonesia tewas, sedangkan di pihak Belanda tidak ada satu pun korban.
Beriringan dengan agresi ke Yogyakarta, pasukan Belanda juga menyerang daerah-daerah lain di Jawa. Segera setelah mendengar berita agresi militer yang dilakukan Belanda tersebut, Panglima Besar Soedirman pun mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00, dan perang gerilya melawan Belanda pun dimulai.
Akibat agresi militer Belanda tersebut, pihak internasional melakukan tekanan terhadap Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda. Akhirnya, dengan terpaksa, Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem-Royen
5. PDRI
dan Serangan Umum 1 Maret 1949
Sebenarnya, sebelum para pemimpin RI ditangkap
Belanda, para pemimpin TNI dan Presiden RI sempat mengadakan sidang kilat yang
menghasilkan keputusan, di antaranya yaitu :
a) Memberi kuasa penuh kepada Mr. Syafruddin
Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Sumatera;
b) Kepada Mr. Maramis, L.N. Palar, dan Dr.
Soedarsono yang sedang berada di India diberi tugas untuk membentuk Pemerintah
Pelarian RI di India bila PDRI di Bukittinggi gagal.
Selanjutnya Presiden Soekarno
melalui radiogram segera memberikan mandat kepada Menteri Kemakmuran Rakyat,
Mr. Syafruddin Prawiranegara yang pada waktu itu sedang berada di Sumatera
(Bukittinggi) agar membentuk PDRI. Dengan demikian, walaupun para pemimpin RI
serta ibukota berada di tangan Belanda, pemerintahan RI terus tetap berjalan.
Terlepas dari polemik tentang
siapa sebenarnya yang memiliki ide awal untuk melakukan serangan umum tanggal 1
Maret 1949 ke Yogyakarta apakah Sri Sultan Hamengkubuwono IX atau Letkol
Soeharto, toh dalam kenyataannya TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama
6 jam. Keberhasilan serangan ini kemudian disiarkan melalui radio di Wonogiri
ke seluruh penjuru dunia. Serangan Umum 1 Maret 1949 mempunyai arti yang sangat
penting bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi Belanda, yaitu :
a.
Ke dalam; secara psikologis dapat
mendorong semangat perjuangan TNI dan rakyat Indonesia yang sedang berjuang
melakukan perang gerilya.
b.
Ke luar; secara politik untuk
membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI dan negara RI masih ada dan
sekaligus membantah kebohongan Belanda yang menyatakan negara RI dan TNI sudah
tidak ada lagi.
6. Perundingan Roem-Royen
Berbagai bangsa di Asia, Afrika, dan Australia
mengecam tindakan Belanda yang melakukan agresinya yang kedua ke Indonesia.
Atas prakarsa Birma dan India, pada tanggal 20-23 Januari 1949 diselenggarakan
Konferensi Asia di New Delhi, India. Dalam konferensi itu khusus membahas acara
tunggal, yaitu Agresi Militer Belanda II. Konferensi tersebut menghasilkan
suatu resolusi tentang masalah RI-Belanda, yaitu :
a) Belanda harus mengembalikan Pemerintahan RI ke
Yogyakarta;
b) Pembentukan Pemerintahan ad-interim yang
mempunyai kemerdekaan politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949;
c) Tentara Belanda harus ditarik dari seluruh
wilayah RI;
d) Penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah
Indonesia Serikat paling lambat tanggal 1 Januari 1950.
Usaha perundingan kemudian ditempuh kembali
dengan diadakannya perundingan awal di Jakarta tanggal 14 April 1949. Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh
Dr. J.H. van Roijen. Perundingan tersebut di bawah pengawasan UNCI yang
dipimpin oleh Merle Cochran. Melalui perdebatan yang sengit, akhirnya dicapai
persetujuan pada tanggal 7 Mei 1949 yang dikenal dengan Persetujuan
Roem-Roijen (Roem-Roijen Statement). Persetujuan tersebut antara
lain berisi :
a) Pemerintah RI bersedia menghentikan perang
gerilyanya;
b) Pemerintah RI bersedia menjalin kerjasama
untuk mengembalikan keamanan dan
ketertiban;
c) Pemerintah Belanda menyetujui kembalinya
Pemerintah RI ke Yogyakarta;
d) Pemerintah Belanda bersedia menghentikan
operasi militernya, membebaskan semua tahanan politik serta berusaha dengan
sungguh-sungguh agar KMB segera dilaksanakan setelah pemerintah RI kembali ke
Yogyakarta
7. Konfrensi
Inter-Indonesia
Konferensi Inter Indonesia
merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik Indonesia dengan
negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang tergabung
dalam BFO (Bijenkomst Voor Federal Overslag) Konferensi Inter Indonesia
berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 yang dipimpin oleh
Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta. Karena simpati dari negara-negara BFO ini
maka pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dapat dibebaskan dan BFO jugalah
yang turut berjasa dalam terselenggaranya Konferensi Inter-Indonesia. Hal
itulah yang melatarbelakangi dilaksanaklannya Konferensi Inter-Indonesia.
Soekarno menyebut konferensi ini sebagai “trace baru” bagi arah perjuangan
Indonesia.
Konferensi ini banyak
didominasi perbincangan mengenai konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama
mengenai susunan kenegaraaan berikut hak dan kewajiban antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Hasil kesepakatan dari Konferensi
Inter-Indonesia adalah:
1) Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama
Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme
(serikat).
2) RIS akan dikepalai oleh seorang Presiden
dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden.
3) RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik
dari Republik Indonesia maupun dari kerajaan Belanda.
4) Angkatan perang RIS adalah angkatan perang
nasional, dan Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS.
5) Pembentukkan angkatan Perang RIS adalah
semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri. Angkatan Perang RIS akan dibentuk
oleh Pemerintah RIS dengan inti dari TNI dan KNIL serta kesatuan-kesatuan
Belanda lainnya.
Sidang kedua Konferensi Inter
Indonesia di selenggrakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli dengan
keputusan:
1) Bendera RIS adalah Sang Merah Putih
2) Lagu kebangsaan Indonesia Raya
3) Bahasa resmi RIS adalah Bahsa Indonesia
4) Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO.
Pengisian anggota MPRS diserahkan kepada kebijakan negara-negara bagian yang
jumlahnya enam belas negara.
Kedua delegasi juga setuju
untuk membentuk panitia persiapan nasional yang bertugas mempersiapkan segala
sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan Konferensi Meja Bundar.
|
8. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Konferensi Meja Bundar diikuti oleh perwakilan
dari Indonesia, Belanda, danperwakilan badan yang mengurusi sengketa antara
Indonesia-Belanda. Berikut ini paradelegasi yang hadir dalam KMB:
a.
Indonesia terdiri dari Drs. Moh.
Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo.
b. BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.
c.
Belanda diwakili Mr. van
Maarseveen.
d. UNCI diwakili oleh Chritchley.
Setelah melakukan perundingan cukup lama, maka
diperoleh hasil dari konferensi
tersebut. Berikut merupakan hasil KMB:
tersebut. Berikut merupakan hasil KMB:
a) Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka
dan berdaulat.
b) Pengakuan kedaulatan dilakukan
selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
c) Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan
lagi dalam waktu 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS.
d) Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan
hubungan Uni Indonesia Belanda yang dikepalai Raja Belanda.
e) Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari
Indonesia dengan catatan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS.
f)
Tentara Kerajaan Belanda selekas
mungkin ditarik mundur, sedang TentaraKerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan
dibubarkan dengan catatan bahwa paraanggotanya yang diperlukan akan dimasukkan
dalam kesatuan TNI.
Konferensi Meja Bundar memberikan dampak yang
cukup menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Karena sebagian besar hasil dari
KMB berpihak pada bangsa Indonesia,sehingga dampak positif pun diperoleh
Indonesia. Berikut merupakan dampak dari Konferensi Meja Bundar bagi Indonesia:
a.
Belanda mengakui kemerdekaan
Indonesia.
b. Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan
pembangunan segera dapat dimulai.
c.
Irian Barat belum bisa diserahkan
kepada Republik Indonesia Serikat.
d. Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan
cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Selain dampak positif, Indonesia juga memperoleh
dampak negatif, yaitu belum diakuinya Irian Barat sebagai bagian dari
Indonesia. Sehingga Indonesia masih berusaha untuk memperoleh pengakuan bahwa
Irian Barat merupakan bagian dari NKRI
2.4
Faktor yang
memaksa Belanda Keluar dari Indonesia
Ketika Belanda melakukan agresi militemya yang
kedua, tanggal 19 Desember 1948, Dewan Keamanan PBB merasa tersinggung karena
tindakan Belanda tersebut telah melanggar persetujuan gencatan senjata yang
telah diprakasai oleh Komisi Tiga Negara (KTN). Di dalam negeri Indonesia pun
Belanda tidak memperoleh dukungan politik bahkan para pejuang melakukan gerilya
maupun serangan umum. Menghadapi kondisi yang demikian ini maka Belanda
mengubah sikapnya yakni sepakat dilakukan gencatan senjata. Penghentian tembak menembak
akan mulai berlaku di Jawa tanggal 11 Agustus 1949, dan di Sumatera pada
tanggal 15 Agustus 1949. Pada masa gencatan senjata itulah berlangsung
Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 23 Agustus 1949. Dalam
konferensi ini hasil utamanya antara lain bahwa Belanda akan mengakui
kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada akhir bulan Desember 1949. dengan
demikian hal ini memaksa Belanda harus keluar dari bumi Indonesia. Sebenarnya
faktor-faktor apa saja yang memaksa Belanda harus keluar dari Indonesia?
Faktor dari Dalam :
1. Dari
dalam negeri Indonesia, Belanda menyadari bahwa kekuatan militernya tidak cukup
kuat untuk memaksa RI tunduk kepadanya.
2. Perang
yang berkepanjangan mengakibatkan hancurnya perkebunan dan pabrik-pabrik
Belanda. Untuk menghindarkan hal itu Belanda harus mengubah strateginya.
3. Belanda
tidak mendapat dukungan politik dari dalam negeri Indonesia. Ketika membujuk
Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjadi pemimpin sebuah negara di Jawa maka
ditolaknya.
4. Para
pejuang Republik Indonesia terus melakukan perang gerilya dan serangan umum.
Faktor dari Luar :
PBB dan Amerika Serikat mengambil sikap yang
lebih tegas terhadap Belanda. Amerika Serikat mengancam akan menghentikan
bantuan pembangunan yang menjadi tumpuan perekonomian Belanda. Dengan adanya
faktor-faktor di atas maka diselenggarakanlah KMB yang bermuara diakuinya
kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 sehingga
memaksa Belanda keluar dari bumi Indonesia.